Never give in to your dreams

How do you do this time my Internet friends and wall wishers? I hope that your lives have been treating you with the respect and vitality enriching nutrients of acai berries. I hear they are a…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Kala Jingga

Cahaya keemasan mulai memasuki celah jendela kaca. Aku segera bergegas membereskan semua pekerjaan hari ini. Setelah sibuk dengan setumpuk pekerjaan yang membuat aku harus lembur, sore ini aku ingin pergi ke sebuah tempat untuk membuang semua kenangan masa lalu yang pernah kumiliki. Menghabiskan musim panas. Bermain-main di pantainya. Atau sengaja memandang sunset yang selalu indah setiap harinya. Sekadar untuk membuka lembaran baru dan menyimpan luka lama yang telah berlalu.

Setelah berjalan kaki sekitar lima belas menit akhirnya aku sampai juga ditempat ini, sebuah pantai yang terletak dipelosok desa. Aku memilih duduk diatas bebatuan sambil meminum kopi kemasan yang tadi aku beli di mini market.

Sekedar duduk - duduk nongkrong sambil ngopi di tempat ini sudah menjadi ritual wajib menjelang senja. Sepulang kerja aku selalu secepat mungkin menuju tempat ini agar bisa melihat matahari tenggelam. Meskipun senja tidak selalu Jingga tapi aku begitu menyukainya. Sekedar menatap langit sore dengan awan yang cantik ditambah backsound deburan ombak dan suara burung sangatlah menenangkan, membuat aku lupa segalanya, lupa betapa sesaknya dadaku tadi siang karena menahan tangis.

Setiap sore aku menghabiskan waktu ditempat ini untuk menenangkan diri, bisa dibilang semacam healing, sambil mencari jawaban pertanyaan - pertanyaan yang selalu melintas dikepala ini. Selain itu tempat ini semacam peristirahatan sementara setelah seharian menyibukkan diri untuk melupakan kekecewaan pada hidup, kekecewaan pada diri sendiri. Bisa dibilang semacam persiapan menyambut malam, sebagai pencegahan agar ketika mimpi itu datang aku tak lagi takut, tak lagi menjerit atau menangis histeris.

Aku menarik nafas dalam, lalu kuseruput kopi dalam genggamanku. Ingatanku kembali berselancar kebeberapa tahun yang lalu saat acara reuni dengan teman kuliah. Setiap kali membahas perihal pernikahan aku selalu memberi jawaban "jangan khawatir soal jodoh, nanti pas usia tiga puluh tahun aku pasti sudah hamil dan punya anak, aku yakin Tuhan akan mendengar doaku".

Dinginnya kopi kembali membasahi tenggorokan. Aku menarik nafas panjang. Hari itu dua bulan sebelum usiaku tepat tiga puluh tahun aku mendadak panik, aku baru ingat itu adalah hari ke lima belas di bulan Mei artinya sudah hampir satu bulan aku terlambat haid. Buru - buru aku chat lelaki itu "aku belum haid, harusnya tanggal 24 April sudah haid, sekarang sudah tanggal 15 Mei". Ponselku berbunyi tanda pesan BBM masuk, “Kamu yakin belum haid? Jangan panik mungkin itu karena stress, kamu kecapean, sebulan ini kamu lembur terus, nanti pulang kerja aku jemput, nanti aku mampir ke apotik beli testpack biar besok pagi bisa langsung ditest". Kubaca pesan itu dengan perasaan kecewa, entah lah aku merasa itu tidak menenangkan sama sekali. Kubalas pesannya dengan singkat, “OK”.

"Aku sudah didepan", katanya diujung telpon. Kututup telepon, setengah berlari aku menghampiri sepeda motornya. Sepanjang jalan kami hanya diam tidak berbicara sepatah katapun. Begitulah kami selama satu tahun bersama kita hanya berbicara lewat pesan, telepon hanya sesekali kalau kuota internet kita habis tak jarang malah berkirim SMS. Tak terasa akhirnya kami sudah samapak didepan rumah, aku turun sambil mengucapkan terimakasih. Laki - laki itu memberikan sebuah bungkusan, aku menerimanya tanpa basa basi sedikitpun kemudian berlalu begitu saja menuju rumah.

Sesampainya di kamar aku langsung merebahkan badan kemudian membuka ponselku, ku lihat ada pesan masuk. Ternyata pesan dari laki-laki itu, "Sengaja aku beli testpack tujuh buah itu buat seminggu, jangan lupa tiap bangun tidur langsung ditest, kabari aku hasilnya tiap hari, jangan panik”.

Ku baca pesan itu tanpa ada keinginan untuk membalasnya. Hubungan ini memang aneh, sudah satu tahun lebih tapi kita hanya bicara lewat pesan, saat bertemu pun kita hanya saling diam. Tapi entah setan jenis apa yang berhasil memggodaku, sampai aku rela dia tiduri tanpa ada pernikahan terlebih dahulu.

Sudah seminggu ini setiap bangun tidur aku mengetest urinku dan ssetiap pagi juga aku melaporkan dengan hasilnya selalu sama, dua garis biru. Aku hamil, bagaimana ini?. Setiap malam aku menangis tapi bodohnya setiap berbalas pesan dengan laki-laki itu aku selalu bersikap seolah semua baik-baik saja. Seolah aku kuat dan tidak akan menuntut apapun dari dia…

Malam itu taku sangat cemas, aku menangis sejatinya, lalu aku kirim pesan. Tidak seperti biasanya malam ini aku menulis pesan sangat panjang. “Semoga kamu belum tidur. Aku ingin bicara soal bayi diperutku. Aku bingung. Keluarga aku pasti marah. Aku juga gak bisa memaksa kamu untuk betanggung jawab. Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau bertanggung jawab biar aku besarkan anak ini sendiri, aku sudah bicara dengan temanku, dia siap menampung aku di rumahnya, dia juga sudah berjanji untuk mencarikan aku pekerjaan disana. Aku yakin aku bisa melaluinya, jangan khawatir aku tidak akan pernah memberitahukan anak kita siapa ayahnya".

Aaah… betapa bodohnya aku. Selalu begitu dan begitu. Mengirim pesan seolah aku kuat padahal saat sambil mengetik aku menangis. Sebenarnya bukan seperti itu yang aku mau. Aku mau dinikahi secepatnya. Apa salahnya minta dinikahi toh kita sama-sama belum menikah. Dalam kondisi hamil begini memang seharusnya aku memaksa dia menikahiku. Tapi begitulah aku, selalu berpura-pura seolah semuanya baik-baik saja.

Gara - gara pesan yang aku kirim, pagi - pagi sekali kami sudah berdebat. Katanya aku itu terlalu rumit dan berlebihan. Dia meyakinkan aku kalau dia akan bertanggung jawab, dia akan selalu ada sampai anak kami berhasil digugurkan. Ya yang dia maksud bertanggung jawab itu adalah Aborsi.

Aku menarik nafas panjang, rasanya sesak sekali. Hampir setiap hari kami bertengkar. Dia teguh pada pilihannya memaksa aku menggugurkan kandungan, sementara aku malah kebingungan. Disatu sisi aku sangat menginginkan bayi ini, disisi lain kasihan dengan keluargaku. Aku tidak sanggup membayangkan mereka menanggung malu.

Akhirnya setelah bujuk rayu dengan alasan kasian ibu bapakku lah, ibunya sedang sakit lah, kakaknya belum menikah lah, aku mau juga mengikuti kemauan laki-laki itu. Aku mulai diberi jamu ramuan yang katanya akan menggugurkan kandungan tanpa rasa sakit. Selama seminggu aku meminum jamu itu tapi tidak ada hasilnya tidak ada yang keluar dari rahimku. Sampai akhirnya dia memberi aku obat yang katanya didapat dari seorang teman yang ber profesi sebagai perawat. Kata dia obat itu sangat manjur harga pertabletnya juga mahal. Aku diberi enam tablet katanya itu untuk tiga hari. Sepertinya obat itu memang manjur, aku minum sebelum tidur dan tengah malam perutku mulas hebat, aku pendarahan. Sampai pagi darah itu tidak berhenti tapi setiap ditest hasilnya masih tetap positif. Bahkan seminggu setelah pendarahan itu usai hasil testpack masih menunjukan dua garis biru.

Aku mulai galau kembali antara mengikuti kemauan dia untuk aborsi atau pergi keluar kota membesarkan anakku sendiri. Aku tahu, aku sedang menyakiti anakku sendiri. Aku sedang mencoba membunuhnya tapi aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya bisa menangis dan menangis. Mengingat semua itu rasanya jijik dan miris sama diri sendiri, bisa-bisanya aku sebodoh itu.

Sebenarnya, aku sangat ingin dinikahi. Masalahnya waktu itu aku terlalu sombong, terlalu sok kuat dan gengsi untuk memaksa laki-laki itu menikahi aku. Aku berharap laki-laki itu dengan kesadaran sendiri mengajak aku menikah tanpa paksaan dari siapapun, tapi itu mustahil dan tentunya sangat bodoh untuk seorang perempuan dalam keadaan hamil dan terdesak. Harapan tidak selalu sesuai dengan realita, begitupun dengan harapanku. Kenyataannya yang keluar dari mulut laki - laki itu bukan ajakan menikah tapi bagaimana caranya agar janin ini mati.

Setelah meminta bantuan seorang teman untuk membujukku akhirnya aku bersedia melakukan aborsi dengan cara kuretase dengan syarat sesuai standar dan legal. Dia menjanjikan akan ditangani oleh dokter kandungan di sebuah rumah sakit ternama.

Sebelum menyanggupi aku mengajukan satu syarat, aku ingin kami bertemu dengan dia dalam suasana yang hangat. Aku ingin dia bersikap seperti seorang ayah yang menanti kelahiran anaknya. Aku meminta dia mengusap dan mencium perutku seperti kebanyakan pasangan suami istri yang menanti kelahiran anaknya. Dia pun menyanggupi permintaan itu kemudian mengatur waktu agar kami bisa bertemu.

Hari yang ditunggu itu tiba kami bertemu disebuah motel. Untuk pertama kalinya kami bercanda. Dan itu pertama kalinya kami bercakap - cakap langsung dengan hangat. Laki - laki itu mengusap - ngusap perutku kemudian dia bertanya, "menurut kamu anak kita laki-laki atau perempuan? Aku yakin dia pasti laki-laki dan setampan aku, kamu kan cinta mati sama aku jadi pasti mirip aku". Aku tersenyum mendengarnya. “Sepertinya bayi ini perempuan tapi apapun jenis kelaminnya aku sangat menyayangi anak kita. Dia pasti mirip aku, aku yang mengandung dia, aku juga lebih sayang dia daripada kamu".

Meskipun cuma beberapa jam harus aku akui saat itu sangat menyenangkan. Bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena merasa bukan cuma aku yang menyayangi anak kami. Tapi disisi lain aku sedih, sedih karena itu berarti aku harus memenuhi janjiku. Aku harus mau menggugurkan kandunganku hari minggu nanti.

Sepanjang jalan kami berdua hanya diam. Tapi sebenarnya aku tidak benar-benar diam. Malah aku terlalu banyak bicara. Sepanjang jalan aku tidak berhenti bicara dalam hati, mengajak ngobrol bayi kami. Berulang kali meminta maaf karena memilih menggugurkan dia. Dan lucunya Hal itu masih aku lakukan sampai sekarang. Ketika moodku sedang tidak baik, biasanya sebelum tidur aku akan meminta maaf sambil mengeluh perut sendiri kemudian berbicara panjang lebar seolah bayi itu masih tinggal rahimku.

Kadang aku pikir aku ini gila. Aku sering bicara sendiri didepan cermin. Ada begitu banyak tanya dalam pikirku. Ingatan-ingatan itu terus saja menghantui. Sepertinya setelah aborsi aku mengalami depresi. Aku seperti dikejar rasa bersalah, kecewa, menyesal dan sering berpikir untuk mati saja.

Kuusap kembali perutku sambil terus memandangi senja. Ingatanku kembali ke hari minggu 13 Juli 2013, hari itu bertepatan dengan hari ke lima bulan Ramadhan. Setelah solat subuh kami pergi ke Rumah Sakit menggunakan sepeda motor. Jarak ratusan kilometer rela kami tempuh hanya untuk membunuh anak kami sendiri. Betapa jahatnya aku sebagai seorang ibu.

Setelah menempuh tiga jam perjalanan akhirnya kami sampai di Rumah Sakit tujuan kami. Dia menghentikan motornya disebrang Rumah Sakit kemudian menyuruhku turun dan duduk dikursi yang ada didepan sebuah mini market. Lelaki itu sibuk menghubungi kenalanya yang bekerja di Rumas Sakit. Tidak menunggu lama temannya datang dan mengajak kami mengikuti dia. Aku pikir aku akan menjalani kuretase di Rumah Sakit yang ada didepan mataku, ternyata aku salah. Laki-laki menyuruhku naik ke atas sepeda motor kemudian kami mengikuti temannya yang sudah lebih dulu jalan.

Setelah belasan kilometer akhirnya kami sampai disebuah rumah. Setelah menunggu teman lelaki itu selesai menelepon akhirnya pintu rumah itu dibuka dan kami dipersilahkan masuk. Ternyata aku dibawa ke seorang Bidan bukan dokter. Aku yakin sekali ini praktik ilegal karena seperti ketakutan gitu, begitu kami asuk pintu langsung dikunci, jendela dan gordin pu langsung di tutup oleh Bidan itu.

Aku duduk dengan perasaan cemas. Aku takut, aku merasa sedang menyerahkan nyawaku. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara seorang perempuan. "Kamu ibunya? Puasa enggak?", tanya perempuan itu. “Saya puasa bu”, jawabku. Kemudian masuk ke dalam dan kembali dengan seiring nasi dan lauk pauk. Dia memberikan piring itu padaku dan menyuruh aku makan. Katanya bahaya kalau kuret dilakukan dalam keadaan perut kosong. "Ayo habiskan makanannya, kamu butuh tenaga biar kuat, biar prosesnya lancar dan selamat".

Selesai makan Bidan itu mengajak aku masuk kedalam ruang pemeriksaan. Dia memberiku mangkuk kecil dan menyuruhku buang air kecil. Setelah memberikan sampel urin, aku diminta berbaring untuk USG. Alat seperti setrikaan menempel diperutku kemudian digerakkan disekitar perutku. Tak lama perempuan itu berteriak memanggil laki-laki itu dan temannya, " kalian kesini, coba lihat plasentanya ada dibawah, ini previa. Pantas saja obat yang dikasih kemaren gak mempan". Aku menatap lelaki itu kemudian menarik nafas panjang. Perasaanku kacau dan penuh tanya. Ada apa ini? Ada apa dengan kandunganku? Kenapa dengan bagiku?.

Meskipun aku sedang mengantarkan nyawa anakku sendiri tapi aku tetap mencemaskanya, aku takut bayiku kenapa-napa. Bidan itu memberikan beberapa butir tablet, dia menyuruhku untuk meminumnya dan ada satu tablet lagi katanya harus aku masukan ke vagina.

Setelah menunggu selama satu jam aku diajak masuk ke sebuah ruangan yang mirip ruang operasi. Aku disuruh mengganti pakaian kemudian diminta berbaring sambil membuka kedua kakiku. Bidan itu mengeluarkan beberapa peralatan yang terbuat dari besi dari sebuah lemari yang menurutku mirip oven kue. Sepertinya lemari itu alat untuk mensterilisasi. Aku bergidik melihat peralatan besi itu. Mendengar bunyi besi beradu dari alat itu jadi berasa seperti mobil yang mau dibengkel.

Bidan itu mulai memasukan tangannya ke vaginaku, kemudian memasang alat dari besi, sepertinya itu alat untuk melebarkan lubang vagina. Sumpah aku berasa seperti mobil yang lagi bongkar, rasanya ngilu sekali. Dia mengambil beberapa alat kemudian menyuruhku untuk tarik nafas kemudian ngeden seperti orang mau melahirkan. Aku berusaha mengikuti perintahnya semampuku sambil menahan rasa sakit.

" Sudah saya bilang jangan mencoba menutup kaki, jangan ditahan perutnya, jangan membuat saya dalam masalah, ikuti perintah saya kalau kamu mau pulang dengan selamat", bidan itu beberapa kali berteriak memarahiku karena aku tidak mengikuti perintahnya.

Bidan itu berhenti kemudian membuka pintu, sadar gak sadar aku mendengar dia berbicara "gawat ada pendarahan banyak, ibunya lemah sepertinya dia harus diinfus". Kemudian aku mendengar bidan itu bertanya pada laki-laki itu, "kamu mau menemani dia didalam, ayo temani dia biar dia kuat". Rasa aku ingin berteriak "ayo sini temani aku, pegang tangan aku biar aku kuat menahan sakit, bukankah ini demi nama baikmu, demi keluargamu, demi kesehatan ibumu yang sedang sakit". Tapi tidak sepatah katapun keluar dari mulutku aku terlalu lemah karena menahan sakit dan pendarahan yang banyak. Aku menggigit tanganku kuat-kuat untuk menahan sakit, tidak terasa air mata mengalir dikedua mataku.

Bidan itu sibuk memasang jarum infus ditanganku, tapi gagal sampai harus mengulanginya beberapa kali. Sementara bidan sibuk dengan jarum infus, diam - diam aku masih berharap laki-laki itu datang menemaniku. Tapi sampai infus selesai dipasang dia tak kunjung datang.

" Ayo tarik nafas, dorong yang kuat, keluarin tenaganya sedikit lagi, ayo jangan ditahan biar cepet”, Perintah bidan itu. "Lihat sudah dapat kakinya", Kata bidan itu lagi sambil memperlihatkan gupalan daging penuh darah yang dijepit oleh alat yang menyerupai penjepit makanan.

"Ayo tarik nafas lagi, dorong yang kuat, sedikit lagi tinggal kepala sama tangannya, ayo yang kuat biar cepet selesai". Kalau saja tidak ingat bidan itu lebih tua dariku ingin rasanya ingin ku tendang dia, seenaknya nyuruh-nyuruh orang marahin orang, tidak tau kalau aku ini sedang menahan sakit dan seenaknya pula dia menghancurkan tubuh anakku kemudian memamerkan ya seolah dia itu hebat. Aku pikir kuratase itu akan mengeluarkan janin dengan utuh bukan dicabik - cabik seperti hewan.

Aku mengeluarkan semua tenaga yang tersisa sambil menangis sejadi-jadinya dan menggigit tangan sendiri untuk menahan sakit. Ya Tuhan betapa menjijikannya aku, aku ibu yang jahat. Ibu yang tega membunuh dan membiarkan tubuh anaknya kesakitan karena dicabik - cabik. Tak lama terdengar bidan itu memanggil,"lihat ini tangan dan kepala bayi kamu. Akhirnya semuanya sudah selesai, setelah dibersihkan kamu boleh tidur". Setelah selesai membersihkan sisa-sisa kuret bidan itu mendekat sambil membawa ember, "sudah bersih kamu boleh tidur, lihat yang di ember ini anak kamu". Melihat gumpalan daging penuh darah dalam ember seketika aku mual, sedih dan sesak. Aku menarik nafas sambil terisak mencoba menenangkan diri sendiri. Aku sadar aku harus menerima konsekuensi dari pilihanku sendiri.

Tak lama aku mendengar suara seseorang membuka pintu. Aku pikir bidan itu yang datang, ternyata laki-laki itu yang muncul dibalik pintu. Dia menhampiriku dan bertanya "kamu baik-baik saja?", Aku mengangguk sebagai jawaban. "Tidurlah sebentar, aku akan menunggu diluar", Kemudian dia pergi meninggalkan aku sendirian.

Sepertinya aku tertidur lumayan lama. Aku kembali berpakaian dan keluar ruangan kemudian menghampiri laki-laki itu. "Kamu sudah kuat untuk pulang?", Tanya lelaki itu. Aku mengangguk mengiyakan. Kami bersiap pulang dan membayar semua biaya kuret. Biayanya lumayan mahal dan uang laki-laki itu tidak cukup. Akhirnya aku yang membayar kekurangannya yang hampir tujuh puluh lima persen.

"Janinmya akan saya bungkus, kalian bisa membuangnya di sungai yang kalian lewati". Dadaku sesak mendengar perkataan bidan itu. Tak lama ku dengar suara laki-laki itu menjawab, "Bu tolong ya janinnya diurus sama ibu saja, takut ada apa-apa dijalan, perjalanan kami jauh, tolong ya bu saya mohon". Laki-laki itu memelas memohon sampai Bidan itu menyetujui permintaanya."Baiklah, janin ini saya yang urus, biar nanti saya suruh anak saya membuangnya ke kali didekat sini". Sakit hati ini mendengar anakku akan ke kali, akan dijadikan santapan ikan-ikan. Tapi seperti biasa aku hanya diam dan diam sampai kami pamit pulang.

Mungkin karena pengaruh obat aku merasa tubuhku bugar, tidak merasakan sakit apapun sampai aku berani menempuh jarak ratusan kilometer untuk pulang. Kami pulang menjelang sore, ditengah jalan dia meminta bertukar tempat, katanya badannya pegal - pegal jadi dia meminta aku yang memboncengnya. Aku mengiyakan permintaanya, tapi jauh dilubuk hatiku aku bertanya-tanya, "Apakah tidak ada sedikitpun rasa sayang dan cinta kamu untuk aku?. Kenapa dia tega menyuruh aku membawa sepeda motor setelah kuret?. Bukankah pegal yang kamu rasakan tidak sebanding dengan sakit yang aku rasakan?. Sakit yang aku rasakan bukan cuma tubuh, bukan cuma perut, bukan cuma tangan yang bengkak karena jarum infus, bukan cuma itu, hatiku sakit, pikiranku juga sakit, apa kamu tidak merasakan itu?! Tidak merasa menyesal kehilangan anak sendiri?. Pertanyaan-pertanyaan itu terus muncul dipikiranku tanpa sedikitpun keluar dari mulutku,sepanjang jalan kami hanya diam.

Suatu hari aku main ke rumah laki-laki itu, tepatnya dua bulan setelah aku aborsi. Betapa terkejutnya aku menemukan dia sedang bersama seorang perempuan. Yang luar biasa perempuan itu mengaku sedang hamil. Dia datang untuk meminta pertanggung jawaban laki-laki itu. Duniaku seperti runtuh seketika, baru dua bulan lalu aku aborsi, laki-laki didepanku ini sudah mengahamili perempuan lain. Ya Tuhan bangsat sekali laki-laki ini. Bodohnya aku masih saja memaafkan dia, masih percaya dia akan menikahi aku, masih bersedia disuruh menunggu dia membereskan masalahnya dengan perempuan itu. Padahal dia sempat menjelaskan dia melakukan itu semua karena dia tidak pernah puas dengan satu perempuan. Katanya jika dia tidak tidur dengan perempuan lain dia akan merasa bosan dengan pasangannya. Dan aku tidak berhenti bodoh, aku bergaya seperti pahlawan kesiangan, seolah malaikat aku ini berlapang dada bersedia menerima dia kembali, memaafkan dan bersedia membantu dia untuk sembuh dari masalah sexualnya itu.

Sebulan kemudian dia memberi kabar kalau masalahnya dengan perempuan itu sudah selesai. Seperti yang terjadi dengan ku, perempuan itu pun diminta untuk aborsi. Lantas setelah membunuh anaknya lagi laki-laki itu benar-benar berubah dan menikahi aku? Tidak!!! Tepatnya tiga bulan setelah itu aku mendesak dia untuk bicara dengan keluarganya agar kami bisa menikah secepatnya. Tapi kenyataannya tidak sesuai ekspektasi, semuanya kacau balau. Ibunya murka dan dia kabur entah kemana meninggalkan aku tanpa kejelasan. Tidak ada pernikahan dan tidak pernah ada permintaan maaf untuk sebuah tanggung jawab dan janji yang tidak dia tuntaskan. Sampai setahun kemudian dia menikah dengan perempuan pilihan ibunya,tidak pernah ada kejelasan apalagi permintaan maaf.

Aku kembali menarik nafas sambil mengeluh perut sendiri. Kala Jingga, maafkan Ibu. Tujuh tahun berlalu tapi perasaan sakit itu belum hilang, rasa bersalah itu terus menghantui. Ibu selalu merindukan kamu, ibu selalu merasa kamu masih ada didalam perut ibu. Kala Jingga, maafkan ibumu yang jahat ini. Maafkan ibu yang tega menjadikan kamu santapan ikan, harusnya saat itu aku membawa kamu pulang dan menguburkanya dengan layak.

Aku memandang langit, menatap mentari yang mulai tenggelam, menyaksikan jingga yang mulai menjauh dan pudar. Langit, senja dan Jingga adalah tiga hal yang ibu sukai setelah kejadian itu.

Senja yang indah namun kehadirannya hanya sekejap mengingatkan ibu padamu. Jingga yang sendu menggambarkan betapa sedihnya hati ini dan langit tinggi menyadarkan ibu betapa sulitnya aku menjangkaumu. Karena itu aku mamnggilmu Kala Jingga.

Samar-samar terdengar suara adzan magrib pertanda aku harus pulang. Aku berdiri meninggalkan bebatuan dengan pertanyaan - pertanyaan yang masih sama setiap harinya, yang pada akhirnya pertanyaan -pertanyaan itu aku jawab sendiri dalam hati, "Sudahlah semua sudah terjadi, kamu hanya perlu memperbaiki diri agar suatu hari ketika bertemu dengan anak-anakmu mereka bangga padamu", bisikku pada diri sendiri.

Add a comment

Related posts:

855 Beef Noodle Shop

855 Beef Noodle Shop is an immersive experience that uses the concept of an iconic Taiwanese cuisine, beef noodle soup, to help the audience tangibly understand the workings of the Taiwanese language…

Uma Rosa para o Dia dos Namorados

Como estamos perto do Dia dos Namorados neste fim de semana, queremos compartilhar nosso amor. Ganhar ROSE (rosa, em português) na Oasis Network é fácil e divertido — bem mais fácil do que ir até a…

Why Most People Give Up On Their Dreams

Social media algorithms aren’t actually the enemy — but judging by how we bitch and moan about them you’d think they were. During any platform’s early days, getting traction is so easy. But when the…